
Pada suatu hari, Fransiskus sedang berkhotbah untuk umat di kota Terni, Italia, di halaman depan rumah uskup. Uskup kota itu seorang yang bijaksana dan saleh turut hadir menyaksikan kotbah Fransiskus.
Setelah khotbah selesai, uskup berdiri dan mengatakan kepada mereka, “Dari permulaan, sejak Tuhan menanam dan membangun Gereja-Nya, Tuhan selalu memasyhurkan Gereja-Nya dengan perantaraan orang-orang suci yang memperindah Gereja-Nya dengan perkataan dan teladan mereka. Kini, pada saat terakhir ini, Tuhan telah memasyhurkan Gereja-Nya dengan perantaraan orang yang miskin, hina dan tak terpelajar ini.”
Ia menunjuk Fransiskus di hadapan seluruh umat. Kemudian uskup meneruskan perkataannya, “Itulah sebabnya kalian harus mencintai dan menghormati Tuhan, dan menjauhkan diri dari dosa, sebab Tuhan tidak berbuat demikian untuk bangsa mana pun.”
Setelah turun dari tempat berkhotbah, Fransiskus dan uskup masuk ke dalam gereja.
Kemudian Fransiskus membungkuk di hadapan uskup dan merebahkan diri di muka kakinya sambil berkata, “Sesungguhnya saya berkata kepada Anda, Tuan Uskup, bahwa tak seorang pun di dunia ini pernah menghormati saya sedemikian besar, seperti yang telah Anda lakukan tadi. Sebab orang lain mengatakan, ‘Orang itu orang kudus’. Dengan cara itu, mereka memberikan kemuliaan dan kekudusan kepada seorang ciptaan, bukan kepada Sang Pencipta. Akan tetapi Anda amat bijaksana karena memisahkan apa yang berharga dari apa yang hina.”
Sebab sering kalau orang menghormati dan mengatakan kepadanya bahwa dia adalah orang kudus. Fransiskus menjawab, “Saya tidak menjamin bahwa saya tidak akan mempunyai putra dan putri.”
Dia mengatakan, “Sebab kalau pada suatu saat Tuhan mau mengambil dari saya harta kekayaan yang Dia serahkan kepadaku, maka yang akan tinggal pada saya hanyalah badan dan jiwa, yang juga dimiliki oleh orang yang tidak beriman! Karena itu, saya harus percaya, seandainya Tuhan memberikan kepada seorang perampok dan juga kepada orang tak beriman, karunia sebesar yang Tuhan berikan kepada saya, mereka pasti lebih setia kepada Tuhan daripada saya.”
Dia berkata lagi, “Seperti melalui lukisan Tuhan dan Santa Perawan yang dilukiskan atas kayu, Tuhan dan Santa Perawan dihormati dan orang diingat, biarlah-seperti kayu dan lukisan tidak membanggakan dirinya, sebab dia hanya kayu dan lukisan – demikian juga hamba Allah, yang tidak lebih dari sebuah lukisan, yaitu ciptaan Allah. Melalui lukisan itu Allah dihormati karena karunia-Nya, tetapi manusia tidak boleh memperuntukkan apa-apa bagi dirinya sendiri, seperti kayu dan lukisan. Hanya kepada Tuhan harus diberikan hormat dan kemuliaan. Kepada manusia patut diberi rasa malu dan dukacita, sebab selama dia hidup, daging selalu bertentangan dengan karunia-karunia Allah.”
Sumber: Sekafi, Legenda Perugina #10
Discover more from HATI YANG BERTELINGA
Subscribe to get the latest posts sent to your email.