Lima Mitos Tentang Katolik dan Faktanya
HATIYANGBERTELINGA.COM – Profesor Teologi Edward Cadbury dari Universitas Birmingham Inggris, Candida Moss, pada Jumat (5/2/2021) menulis lima mitos tentang Katolik (Five myths about Catholics) di The Washington Post. Artikel tersebut ditulis Candida Moss berkaitan dengan terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden Katolik kedua dalam sejarah Amerikat Serikat.
Candida Moss mengatakan, musim pemilu 2020 di Amerika Serikat menjadi berbeda karena Joe Biden – seorang penganut Katolik – ditantang oleh lawan-lawannya dalam kampanyenya.
Menurut Moss, selalu ada kesalahpahaman tentang kepercayaan Katolik Roma sebagai kelompok agama terbesar kedua di negara AS.
Pada tahun lalu terjadi kebingungan cukup besar tentang apa yang Gereja Katolik ajarkan dan apa artinya menjadi Katolik.
Berikut lima mitos tentang katolik yang disampaikan Candida Moss.
Mitos Pertama: Selibat Dan Homoseksualitas Menyebabkan Skandal Pedofilia
Selama dua dekade terakhir, skandal terbesar dalam Gereja Katolik adalah krisis pelecehan seksual terhadap anak-anak. Sejumlah pemimpin dan organisasi Katolik saat menjelaskan asal mula pelecehan tersebut mengklaim bahwa hal itu disebabkan oleh kehadiran imam gay di kalangan klerus.
Pada tahun 2002, Kardinal Jorge Arturo Medina Estevez, seorang pejabat tinggi Vatikan, dalam sebuah surat publiknya menyatakan bahwa menahbiskan “laki-laki homoseksual atau laki-laki dengan kecenderungan homoseksual sama sekali tidak disarankan dan tidak bijaksana, dan dari sudut pandang pastoral, sangat berisiko.”
Sebuah pernyataan oleh Uskup Agung Silvano Maria Tomasi untuk PBB pada tahun 2009 berusaha untuk mengategorikan ulang pelecehan anak sebagai “ketertarikan homoseksual terhadap remaja laki-laki.”
Bill Donohue, presiden Liga Katolik di Amerika Serikat, mengklaim dalam opini di The Washington Post pada tahun 2010 bahwa krisis pedofilia adalah “krisis homoseksual selama ini.”
Sementara yang lain menelusuri masalah ini justru mendesak gereja untuk selibat.
Pada 2019 National Catholic Reporter menyatakan bahwa selibat menciptakan budaya kerahasiaan dan kebohongan yang melindungi pedofil serta imam yang aktif secara seksual. Sejumlah surat kepada NCR mengatakan bahwa pelecehan seksual di antara para klerus akan berakhir ketika tidak selibat.
Faktanya:
Orientasi seksual, pantang seksual, dan pelecehan anak sama sekali tidak terkait satu sama lain. Sebuah studi independen yang diawasi oleh Margaret Smith di John Jay College of Criminal Justice tidak menemukan hubungan “antara identitas homoseksual dan peningkatan kemungkinan pelecehan seksual”.
Dalam laporannya kepada Konferensi Uskup Katolik AS, Smith mengatakan: “Kami belum menemukan bahwa masalah [pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur] adalah khusus untuk gereja. Kami menganggapnya serupa dengan masalah di masyarakat.”
Sementara itu dalam tulisan di Psychology Today, Thomas Plante, seorang profesor psikiatri, mengutip bukti lebih lanjut bahwa selibat “tidak meningkatkan risiko pelecehan seksual terhadap anak.” Dengan risiko menunjukkan hal yang sudah jelas, jika para imam ingin melanggar sumpah selibat mereka, ada banyak orang dewasa yang menyetujui untuk melakukan hal itu.
Mitos Kedua: Biden Bukanlah Seorang Katolik Sejati
Mantan presiden Donald Trump berkata bahwa Biden “menyakiti Alkitab. Menyakiti Tuhan. Dia melawan Tuhan.”
Dalam homili yang dilaporkan secara luas di bulan November, Pastor Jim Gigliotti, seorang pastor Fort Worth, menyebut Biden “sama sekali bukan Katolik yang baik”.
Majalah Jesuit America melaporkan bahwa beberapa pemimpin agama Katolik memberi tahu umat paroki mereka bahwa memberikan suara untuk Biden adalah “dosa berat”.
Agustus lalu, Uskup Thomas Tobin dari Providence, R.I., melangkah lebih jauh ketika dia meremehkan iman Biden dengan men-tweet: “Biden-Harris. Pertama kali setelah Partai Demokrat tidak memiliki Katolik di dalamnya. Sedih.”
Faktanya:
Meskipun mungkin ada ketidaksepakatan tentang apakah Biden adalah seorang Katolik yang “baik”, tapi tidak ada keraguan bahwa dia (Biden) pada kenyataannya adalah Katolik yang otentik. Orang-orang menjadi anggota Gereja Katolik melalui Sakramen Pembaptisan, Penguatan dan Ekaristi.
Biden adalah seorang Katolik yang dibaptis dan dikonfirmasi dalam situs resmi kampanyenya yang menyatakan: “Saya seorang Katolik yang taat.” Meski posisinya tentang aborsi tidak sesuai dengan ajaran gereja Katolik, hal tersebut tidak mengubah fakta identitas agama Biden.
Mitos Ketiga: Umat Katolik Percaya Infalibilitas Paus
Sekitar 60 tahun yang lalu, politisi Katolik di AS harus membuktikan kemampuan mereka untuk bertindak secara independen dari Vatikan. Pada bulan September 1960, John F. Kennedy muncul di hadapan pertemuan ratusan pendeta Protestan untuk menjelaskan bahwa, jika dirinya terpilih sebagai presiden, dia tidak akan meminta atau menerima “instruksi tentang kebijakan publik dari paus”.
Kesalahpahaman bahwa Kennedy akan melakukan hal itu berasal dari mitos bahwa infalibilitas kepausan berarti umat Katolik harus selalu menaati paus.
New York Times menuliskan profil Benediktus XVI saat calon paus itu masih muda, dikatakan bahwa Joseph Ratzinger percaya pada “kepatuhan yang tidak perlu dipertanyakan pada otoritas Roma.”
Dilansir dari npr.org, pembawa acara Rachel Martin pada tahun 2015, mencatat bahwa “di masa lalu, banyak umat Katolik percaya bahwa paus berbicara dengan suara Tuhan, dan mereka enggan untuk menanyainya. ”
Faktanya:
Paus tidak bisa salah hanya ketika dia berbicara “ex cathedra” (“dari kursi” Santo Petrus). Pada tahun 1993, Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa infalibilitas tidak dianugerahkan kepada paus Roma “sebagai pribadi” tetapi hanya berlaku ketika dia berbicara “dalam bidang doktrinal yang terbatas pada kebenaran iman dan moral.” Dengan demikian, terkecualian paus secara khusus menggunakan otoritas kepausannya dengan memberikan pernyataannya yang serius tapi tidak dapat dibantah.
Terakhir kali seorang paus mengeluarkan dekrit ex cathedra adalah pada tahun 1950, ketika Pius XII membuat Dogma Maria Diangkat ke Surga. Dalam kasus ini, pernyataan Paus itu dibuat setelah berkonsultasi dengan para uskup di seluruh dunia.
Mitos Keempat: Gereja Katolik Anti-Sains
Sebuah survei tahun 2009 tentang agama dan sains oleh Pew Research Center menemukan bahwa 53 persen umat Katolik menganggap sains dan agama sering kali bertentangan.
Sebuah artikel tahun 2011 yang diterbitkan di Social Science Quarterly menunjukkan bahwa orang Amerika yang religius cenderung kurang mendapat informasi tentang sains daripada rekan-rekan mereka yang tidak beragama. Khususnya di kalangan umat Katolik, artikel tersebut mengatakan, “kemampuan ilmiah tidak sesuai dengan posisi pendidikan mereka”.
Ketidaksepakatannya berkaitan tentang isu-isu seperti penelitian sel punca dan kontrasepsi, ditambah dengan perlakuan buruk yang terkenal terhadap astronom Galileo, telah mengarah pada gagasan bahwa Gereja Katolik menolak sains sepenuhnya.
Tahun 2015 misalnya, Rick Santorum mengatakan bahwa Paus Fransiskus harus “menyerahkan sains kepada para ilmuwan” karena “gereja telah salah beberapa kali.”
Faktanya:
Asal mula mitos ini mungkin bermula pada tahun 1870-an, ketika ilmuwan John William Draper dan pendidik Andrew Dickson White mempopulerkan pandangan bahwa Gereja Katolik – tidak seperti Islam dan Protestan – adalah anti-intelektual.
Padahal yang benar dalam ajaran Katekismus Gereja Katolik, bahwa iman dan akal budi saling melengkapi dan saling memperkaya.
Baik Paus Fransiskus dan Benediktus XVI telah menyerukan upaya untuk menghentikan perubahan iklim. Vatikan secara teratur mengadakan konferensi tentang penelitian sel punca dewasa, dan para paus telah menerima teori evolusi dan Dogma Katolik sejak 1950-an. Vatikan bahkan memiliki observatorium astronominya sendiri.
Mitos Kelima: Paus Fransiskus adalah Seorang Liberal
Ensiklik Paus Fransiskus tentang lingkungan, pernyataannya bahwa ateis dapat masuk surga, tawaran pengampunannya kepada wanita yang telah melakukan aborsi dan ketidakpeduliannya terhadap homoseksualitas telah membuat banyak orang memandang Paus Fransiskus sebagai seorang liberal.
Pada November 2013, The Guardian menyebut Fransiskus sebagai “pahlawan baru yang jelas dari kiri,” dan pada bulan berikutnya Rush Limbaugh menyebut pemikiran paus tentang ekonomi sebagai “Marxisme murni“.
Dalam beberapa kesempatan, para kardinal Katolik seperti Raymond Burke secara terbuka menegur Paus Fransiskus atas pernyataannya. Burke mengatakan kepada kru berita Prancis bahwa dia akan “menolak“ perubahan liberal.
Faktanya:
Di dalam gereja, seperti yang dilaporkan The Post, penentangan terhadap Fransiskus sebagian besar berasal dari kaum konservatif sosial. Ini tampaknya menegaskan persepsi publik yang lebih luas tentang paus sebagai seorang liberal. Namun, ada banyak subyek yang menurutnya cukup tradisional.
Paus Fransiskus mengecewakan para pendukung liberal ketika menolak untuk mengizinkan penahbisan pria yang sudah menikah dan tetap teguh menentang aborsi sesuai dengan ajaran gereja.
Seperti yang dikatakan oleh National Catholic Reporter, ada “dua Paus Fransiskus“. Sementara Fransiskus memiliki nada yang lebih pastoral daripada pendahulunya dan menentang kebijakan Amerika yang konservatif secara politik (Paus menyebut tindakan Trump tentang imigrasi “kejam”).
Paus mencegah adanya label politik. Keberpihakan Paus pada kelompok rentan termasuk anak-anak yang belum lahir, mereka yang kurang beruntung secara sosial ekonomi, orang sakit dan cacat, dan imigran.
Catatan: Artikel ini terjemah bebas dari “Five myths about Catholics” yang diterbitkan The Washington Post. Semua tautan (hyperlink berwarna biru) dalam artikel ini masih dapat diakses pada hari Kamis (25/2/2021) pukul 16.35 WIB.
Discover more from HATI YANG BERTELINGA
Subscribe to get the latest posts sent to your email.
1 thought on “Lima Mitos Tentang Katolik dan Faktanya”