Seri TPE 2020: Ketaatan Para Pelayan Biasa Ekaristi

HATIYANGBERTELINGA.COM – Tanggal 7 Mei 2021, telah dilaksanakan launching TPE 2020 pengganti TPE 2005. Lahirnya TPE 2020 merupakan sebuah jalan panjang refleksi teologis Biblis untuk semakin memahami misteri iman dan misteri Ekaristi.
Lahirnya TPE 2020 tentunya membawa semangat pembaharuan sekaligus semangat pertobatan bagi para imam untuk mempersiapkan Ekaristi yang lebih baik, benar, kudus dan khidmat.
Partisipasi umat pun menjadi lebih baik, benar, kudus dan khidmat juga ditentukan oleh ketaatan para pelayan Ekaristi dalam hal ini para imam dan para uskup yang melayani Ekaristi (bdk. PUMR.5).
Pertanyaannya; “Apakah dengan TPE yang baru, lahir sebuah pertobatan dalam diri para pelayan biasa Ekaristi dalam semangat ketaatan untuk melaksanakan PUMR dengan baik dan benar?”
Saya percaya bahwa kami para imam dan para uskup sangat paham bahwa ketika kami merayakan Ekaristi, kami bertindak atas nama Kristus (bdk. PUMR. 4 &16) dan bukan bertindak atas kemauan, kehendak dan kesenangan pribadi apalagi untuk menyenangkan umat. Dari sini sudah sangat jelas bahwa di saat seorang imam atau uskup merayakan Ekaristi maka pada saat yang bersamaan sang imam atau uskup tersebut menyangkal kehendak pribadi dan dalam ketaatan penuh mempersembahkan misa.
Baca juga: Pastor Kopong MSF: Semakin Kalian “Mengganggu” Katolik, Kami Semakin Katolik
Harus kita akui bahwa dalam kenyataan justru banyak kaum awam yang lebih menunjukkan ketaatan di dalam menjalankan Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) dan kita para imam atau uskup sekalipun kadang entah sadar atau tidak dengan berbagai alasan justru lalai terhadap pedoman-pedoman pokok dan inti dari perayaan Ekaristi. Ketika menggunakan simbol-simbol adat, alasan inkulturasi menjadi senjata pamungkas membela diri, ketika menyanyi atau menari alasan saleh mengobarkan iman umat menjadi argumentasi pembenaran diri.
Namun suara kritis kaum awam yang menghendaki agar para pelayan biasa Ekaristi merayakan misa dengan baik dan benar sesuai dengan PUMR justru seringkali tidak didengar atau bahkan ada oknum yang mencap mereka sebagai “kadrun” dan stigma-stigma buruk lainnya terhadap mereka.
Ketaatan dalam merayakan Ekaristi bukan soal rajin merayakan Misa setiap hari dan setiap minggu. Ketaatan disini lebih memiliki makna pada mencintai tanpa syarat. Mencintai Ekaristi tanpa syarat berarti siap menolak segala bentuk cinta pada keinginan, kehendak dan kesenangan pribadi termasuk keinginan menyenangkan umat.
Baca juga: Pater Tuan Kopong MSF: Katolik Adalah Anugerah untuk Negeri Ini
Karena saat merayakan Ekaristi dan partisipasi umat dalam Ekaristi tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memuliakan Allah. Untuk dapat Taat dan Mencintai Ekaristi tanpa syarat maka dari diri para imam dan para uskup harus berani mengatakan tidak untuk mencintai kehendak dan kesenangan pribadi dengan alasan apapun yang justru mengaburkan makna dari misteri Ekaristi yang sedang dirayakan.
Ketika ketidaktaatan yang ditonjolkan maka kita sendiri sedang mengarahkan diri sendiri bersama umat pada kemerosotan cinta akan Ekaristi bahkan jatuh pada sikap narsis dan pelecehan terhadap kesucian misteri Ekaristi yang dirayakan.
Saya mencoba memaknai arti dari “In Persona Cristi” pada saat imam atau uskup merayakan Ekaristi adalah ketaatan Yesus dan seluruh hidup-Nya yang ditampakan dan bukannya “menyembah” kehendak dan kesenangan pribadi dalam perayaan Ekaristi. Artinya Yesus mengundang kita untuk tinggal dalam ketaatan-Nya dan bukan dalam “penyembahan” kehendak pribadi.
Manila: 11-Mei 2021
Pater Tuan Kopong MSF
Baca juga: Mengapa “Dan Bersama Rohmu” dan Bukan “Dan Sertamu Juga”?
Discover more from HATI YANG BERTELINGA
Subscribe to get the latest posts sent to your email.