
Yesaya 1:10, 16-20, Matius 23:1-12
Shalom,
Kristus mengatakan: ‘Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu lakukan dan peliharalah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya’.
Ahli-ahli Taurat dalam masyarakat Yahudi saat itu dianggap sebagai pemimpin masyarakat, karena budaya Yahudi didasarkan atas hukum Taurat dan mereka dipercaya sebagai orang-orang yang paling memahaminya.
Lihat juga: Ragi Orang Farisi dan Herodes
Kristus mengatakan kepada para muridNya, agar mereka menuruti dan melakukan apa yang diajarkan para ahli Taurat, karena yang diajarkan adalah hukum-hukum yang berasal dari Allah.
Tetapi yang harus ditaati adalah penafsiran hukum Taurat yang sungguh-sungguh dikehendaki Allah seperti yang diajarkanNya, bukan seperti yang diajarkan para ahli Taurat dan orang-orang Farisi, karena mereka menafsirkan Taurat berdasarkan sebatas apa yang tertulis (harafiah) dan dicampuradukan dengan peraturan-peraturan tambahan yang mereka buat sendiri.
Lihat juga: Pastor Kopong: Kehadiran Gereja Katolik Jadi Kegelisahan Ahli Taurat Zaman ini
Selain itu yang paling dikritisi Kristus adalah tingkah laku mereka sehari-hari, sehingga Kristus mengingatkan murid-muridNya agar tidak meniru perbuatan mereka.
Ada dua hal yang dijadikan Kristus sebagai contoh. ‘Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya’.
Lihat juga: Melatih Diri untuk Sabar Menanggung Beban Hidup
Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat tidak konsisten dengan apa yang mereka ajarkan. Ajaran-ajaran yang mereka sampaikan seakan hanya untuk umat sedangkan mereka tidak merasa terbeban untuk menjadi teladan dalam mentaatinya.
Sikap orang Farisi semacam ini pada kenyataannya sampai sekarangpun masih sering kita jumpai di dalam kehidupan sehari-hari.
Lihat juga: Penciptaan Baru Dunia
Yang membuat peraturan merasa dirinya istimewa sehingga tidak perlu ikut mentaatinya!. Dalam hal seperti ini, kita sendiri juga perlu memeriksa diri.
Bagaimana sikap kita di dalam rumah tangga atau di tempat kita beraktivitas sehari-hari?
Apakah kita telah menjadi teladan yang baik dari segala yang kita nasihatkan dan ajarkan kepada anak-anak atau orang-orang yang kita pimpin?.
Lihat juga: RIP Ompung Pastor Anselmus, Sahabat Anak Bina Iman Santa Clara
‘Semua pekerjaan yang mereka lakukkan hanya dimaksud supaya dilihat orang’. Sebagai contoh Kristus menyebutkan tentang pemakaian jumbai (tali-tali pendek yang terpilin pada 4 ujung baju).
Hukum Taurat memang mengharuskan orang Yahudi menggunakan itu, untuk mengingatkan mereka bahwa hidup mereka harus terikat pada Tuhan, sehingga tidak menuruti hati dan pikiran sendiri (Bilangan 15:38-39).
Lihat juga: Iri Hati dan Cemburu
Tetapi orang-orang Farisi menggunakan jumbai yang panjang-panjang untuk menunjukkan kesalehan diri, seakan-akan panjangnya jumbai menunjukkan besarnya ketaatan mereka kepada Firman.
Di tempat-tempat pertemuan ibadah, mereka juga suka untuk duduk di tempat-tempat terhormat, karena merasa diri merekalah yang paling berkenan di hadapan Allah.
Lihat juga: Bersujud di Hadapan Kristus
Dengan sikap seperti itu ‘ketaatan’ mereka semata-mata tertuju untuk dikagumi dan dihormati banyak orang.
Padahal yang diinginkan Tuhan, kita mau taat karena percaya kepadaNya dan sebagai wujud syukur atas kasih, berkat-berkat dan pengampunanNya.
Lihat juga: Dipanggil untuk Bertobat dan Mempertobatkan
Melalui nabi Yesaya, Allah berfirman: ‘Basuhlah, bersihkan dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat (atau perbuatan ‘baik’ dengan motivasi yang salah) dari depan mataKu. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik: usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam, belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda (orang-orang yang lemah). Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju’ (Yesaya 1:16-17, 19b).
Allah ingin kita menjadikan perbuatan-perbuatan kasih dan ketaatan sebagai silih atas dosa-dosa yang kita lakukan.
Lihat juga: Ada Kuasa Allah dalam Kata-kataNya
Kristus lalu mengajarkan kita semua untuk selalu bersikap rendah hati:
Jangan mau atau menganggap diri sebagai Rabi (sebutan hormat untuk guru-guru agama), karena kitapun sering tidak mampu memahami Firman Allah dengan benar.
Jangan menyebut siapapun sebagai bapa (yang selalu melindungi dan membela kepentingan anak-anaknya), karena sesungguhnya orang-orang yang melindungi kita adalah ‘alat-alat’ yang digerakkan oleh Roh Allah.
Lihat juga: Mengembangkan Kerohanian
Jangan mau disebut atau menganggap diri sebagai pemimpin yang harus selalu ditaati, karena sebagai manusia kitapun dapat berbuat salah dan kehilangan arah.
Rendahkan hati dan hargailah pandangan setiap orang agar kita semua sepantasnya saling mengingatkan dan menguatkan untuk mengikuti dan mentaati perintah Allah yang tidak pernah salah.
Tuhan memberkati kita.
Lihat juga: Prapaskah Bersama St. Fransiskus Assisi: Kerendahan Hati yang Suci
Discover more from HATI YANG BERTELINGA
Subscribe to get the latest posts sent to your email.